ihk.fis.ung.ac.id-Jurusan Ilmu Hukum dan Kemasyarakatan Program Studi S1 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo melaksanakan kegiatan desiminasi studi kewargaan multikultural di Universitas Negeri Manado (UNIMA), Jumat (10/10/2025). Kegiatan ini merupakan bagian dari pengembangan kajian kewarganegaraan berbasis lapangan yang dilaksanakan secara langsung pada sejumlah ruang publik dan simbol keagamaan di Sulawesi Utara.
Desiminasi ini menyajikan paparan hasil studi lapangan mahasiswa pada empat titik strategis yang mencerminkan dinamika kehidupan multikultural masyarakat Sulawesi Utara, yakni: Pasar Bersehati Hebat Manado, Klenteng Ban Hin Kiong, Masjid Al-Istiqomah Kauditan di Kecamatan Kauditan, serta Masjid Agung Manado.
Dalam paparannya, mahasiswa menyampaikan temuan tentang praktik hidup berdampingan secara harmonis antarumat beragama, interaksi sosial lintas etnis, serta kearifan lokal yang memperkuat ikatan sosial. Pasar Bersehati misalnya, menjadi ruang perjumpaan lintas identitas yang mencerminkan toleransi dalam aktivitas ekonomi masyarakat Manado. Sementara Klenteng Ban Hin Kiong dan Masjid-masjid di Kauditan serta Manado menjadi representasi keberagaman spiritual yang terjaga dalam bingkai kebangsaan.
Ketua Jurusan IHK-PPKn, Dr. Ramli Mahmud,S.Pd.,MA menjelaskan bahwa desiminasi ini merupakan bentuk pembelajaran kewargaan kontekstual yang mempertemukan mahasiswa dengan realitas sosial secara langsung. “Mahasiswa tidak hanya belajar dari ruang kelas yang tekstual, tetapi menyelami kehidupan masyarakat yang majemuk. Pengalaman ini penting untuk membentuk civic literacy, civic competence, dan civic responsibility mereka,” ujarnya.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH) UNIMA, Prof. Dr. Theodorus Pangalila, S.Fils., SH., M.Pd, turut memberikan apresiasi. “Sulawesi Utara adalah contoh nyata masyarakat majemuk yang hidup rukun. Kajian lapangan seperti ini sangat penting untuk memperkuat nilai toleransi, inklusivitas, dan karakter kewargaan mahasiswa. Kampus harus menjadi pusat perjumpaan gagasan yang membangun harmoni sosial,” ungkapnya.
Sebagai bagian dari desiminasi, empat mahasiswa perwakilan dari masing-masing lokasi studi menyampaikan refleksi mendalam atas pengalaman mereka:
Magfira Polihito (Pasar Bersehati):“Ketika kami melakukan observasi di Pasar Bersehati, kami menyaksikan langsung bagaimana interaksi sosial lintas agama, suku, dan budaya terjadi secara alami dalam aktivitas ekonomi sehari-hari. Pedagang dan pembeli datang dari latar belakang yang sangat beragam, namun mereka saling percaya dan bekerja sama tanpa sekat. Kami juga melihat bagaimana nilai gotong royong dan saling menghargai begitu kuat melekat dalam praktik hidup masyarakat pasar. Pengalaman ini mengajarkan kami bahwa toleransi bukan sekadar konsep teoritis dalam buku, tetapi hidup nyata dalam denyut kehidupan masyarakat. Pasar benar-benar menjadi cermin mini dari Indonesia yang majemuk.”
Safawi Juwono S. Rintih (Klenteng Ban Hin Kiong):“Mengunjungi Klenteng Ban Hin Kiong memberikan kesan mendalam bagi kami. Tempat ini tidak hanya menjadi pusat ibadah bagi komunitas Tionghoa, tetapi juga simbol sejarah panjang tentang kerukunan dan keberagaman di Manado. Kami melihat banyak masyarakat lintas agama yang menghormati keberadaan klenteng ini. Bahkan dalam perayaan keagamaan tertentu, masyarakat lain ikut menjaga keamanan dan ketertiban bersama. Ini membuktikan bahwa perbedaan keyakinan bukan penghalang untuk hidup berdampingan secara damai. Kami belajar bahwa harmoni sosial dibangun bukan dengan menyeragamkan perbedaan, tetapi dengan saling menghormati dan mengakui keberagaman sebagai kekayaan bersama.”
Nurlaila Dawanggi (Masjid Al-Istiqomah Kauditan):“Masyarakat Kauditan memiliki tradisi hidup bersama yang sangat kuat. Saat kami melakukan wawancara dan observasi di Masjid Al-Istiqomah, kami mendapati bahwa interaksi lintas agama di sana berjalan dengan sangat harmonis. Meskipun masyarakatnya beragam, namun semangat gotong royong dalam kegiatan sosial sangat terasa. Contohnya, ketika ada kegiatan keagamaan atau perayaan tertentu, masyarakat dari agama lain turut membantu tanpa diminta. Ini menunjukkan bahwa toleransi bukan hanya sikap pasif, melainkan tindakan aktif untuk saling menopang satu sama lain. Kami menyadari bahwa civic culture tidak dapat dibangun hanya dengan regulasi, tetapi tumbuh dari kesadaran sosial masyarakat itu sendiri.”
Dwi Alda Mustapa Ismail (Masjid Agung Manado):“Masjid Agung Manado bukan sekadar rumah ibadah, tetapi juga menjadi ruang perjumpaan lintas komunitas. Kami menyaksikan banyak program sosial yang digagas bersama oleh masyarakat muslim dan non-muslim, seperti kegiatan kemanusiaan dan bakti sosial. Ruang keagamaan ini menjadi sarana membangun jembatan, bukan tembok pemisah. Pengalaman ini membuka wawasan kami bahwa agama dan ruang ibadah dapat memainkan peran strategis dalam memperkuat kohesi sosial masyarakat. Sebagai mahasiswa PPKn, kami belajar bagaimana nilai toleransi, keadaban publik, dan tanggung jawab kewargaan diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.”
Kegiatan desiminasi ini juga menjadi ruang diskusi interaktif antara mahasiswa dan sivitas akademika UNIMA. Melalui kegiatan ini, Jurusan IHK-PPKn berharap dapat memperluas jejaring akademik, memperkaya perspektif kewarganegaraan mahasiswa, serta memperkuat peran pendidikan multikultural sebagai fondasi demokrasi yang inklusif dan berkeadaban.